Sabtu, 17 Mei 2008

Mencari Arti dan Philosophic Kudjang


Ketika saya kembali ke Bandung saya sempat jalan untuk menanyakan kepada beberapa orang tua dan instansi yang yang saya anggap ada korelasinya dengan kudjang. Saya sempat berdiskusi dengan Pak Tjetje dan Ibu Indon (Putri dari pahlawan nasional wanita jawa barat R. Dewi Sartika) dari Yayasan Timbanganten. Bpk Ali Hassan dan Bpk. Tatang dari Kodam III Siliwangi dan pada waktu itu Panglimanya dijabat oleh Bpk. Tayo Tarmadi. Lalu dari Pemda Provinsi dan Kotamadya Bandung, dan juga dari Museum Sri Baduga. Dari beliau-beliau itu yang paling bagus memberikan keterangan adalah Yayasan Timbanganten dan Pak Tatang dari Kodam III Siliwangi. Instansi yang paling memberi sambutan dan dukungan penuh antusias sama saya dan Mbak Anie waktu itu juga dari Kodam III Siliwangi.

Jumat, 16 Mei 2008

Eksperimen Awal Pembuatan Baja Pamor (Damascussteel)


Hasrat yang selalu menggebu dalam benak saya untuk mencoba membuat baja pamor akhirnya terwujud berkat bantuan Pak Susanto, Bu Anie, yang telah susah payah mengupayakan pengadaan material Nickel serta material Standard AISI O1. Berdasarkan referensi dari buku-buku yang di copy dari kang Teddy Kardin ditambah dengan beberapa jurnal dan catatan dari beberapa pembuat pisau yang tergabung dalam American Bladesith Society (ABS), akhirnya saya memberanikan diri untuk mencoba.

Eksperimen pertama saya lakukan didaerah Sukoharjo-Solo, selama 4 hari. Kami berangkat bertiga waktu itu Pak Susanto, Pak Jajang Idris (Perajin pisau di Sukawening, Pasir Jambu Ciwidey, yang belakangan ini didaerahnya lebih akrab dengan panggilan Jajang Rambo. Sebutan tersebut lahir karena Pak Jajang, selalu membuat pisau belati seperti pada Film Rambo). Hari pertama seharian saya mencari alamat perajin yang kebetulan sempat berkenalan pada saat HU.  Kompas, mengadakan pameran serta workshop tosan aji di Bentara Budaya. Hari kedua dan ketiga saya mencoba membuat baja pamor. Saya dan rekan-rekan hanya nonton dan belajar banyak kepada seorang pandai namanya Pak Satiman dibantu dua orang panjak yaitu Mas Bobby, anaknya Pak Satiman serta Mas Harto. Target saya adalah melakukan komparasi antara theory yang kami dapatkan dari buku referensi dengan praktek pembuatannya. Dan akhirnya berhasil membuat beberapa buah bakalan baja pamor, orang Solo menyebutnya adalah kodokan. Pak Satiman, cs merasa kesulitan dalam melakukan proses tempa pada material yang kami bawa. Beliau terbiasa dengan material Standard AISI 4140 atau mereka sebut baja pir. Spesifikasi material yang kami bawa waktu itu adalah AISI O1, yang memang lebih keras karena komposisi karbonnya lebih tinggi disamping ada paduan lainnya. Tetapi ini tidak menjadikan hambatan karena kami terbiasa memperlakukan material tersebut baik dari sisi proses maupun heat treatment nya.

Di Solo kami pun sempat mengunjungi beberapa rekan dari STSI Solo, ditempat ini ada jurusan yang mengkhususkan pada kria tosan aji (sebutan lain untuk baja pamor). Para mpu dan perajin disini memang sudah terbiasa dengan tosan aji. Mereka secara utama mengaplikasikannya pada pembuatan keris tetapi mpu muda lebih kreatif lagi mereka ada yang mengaplikasikannya pada gamelan waktu itu yang kami kenal adalah seniman Solo Ki Hajar Satoto salah satu nya. Saya sangat kagum sama beliau-beliau disana begitu mereka menjaga dan melestarikan budaya ini secara turun temurun dan menghormatinya. Kami sempat berbincang dengan Pak Satiman, beliau begitu bangganya anaknya Bobby sudah bisa menempa bahan baja pamor. Beliau berharap kelak Bobby harus menjadi pandai keris, dan beliau mengarahkan Bobby untuk menjadi panjak dan saat itu dia sudah memulai dengan menjadi panjak di Keraton Solo.

Berbekal pengetahuan praktis serta beberapa referensi tambahan yang ditulis dengan bahasa jawa dan sempat diterjemahkan oleh Pak Pardjo kedalam bahasa Indonesia. Pak Pardjo adalah masih keluarga Mbak Anie. Beliau seorang guru senior pada sekolah dasar. Kami tidak lupa kepada beliau karena beberapa tulisan beliau sangat berharga bagi kami dalam perjalannan pengembangan kudjang pamor. Kami pulang kembali ke Bandung melalui jalur Selatan. Tidak ada habisnya saya berbincang dengan Pak Santo dan Jajang. Akhirnya saya ditanya oleh Pak Santo: "Bayu, kelak pengetahuan ini akan dibawa kemana?". Saya menjawab:"Kelak saya akan aplikasikan untuk pengembangan Kudjang. Rasanya ada yang kurang dari kudjang yang di buat di Jawa Barat. Saya ingin orang sunda menghormati budaya kudjang ini seperti orang jawa tengah terhadap keris.". Pak Santu melanjutkan:"Bisa Bay itu dilakukan?". Saya menjawab dengan optimis: "Bisa Pak, hanya pasti perlu waktu panjang, secara kultur di Jawa Barat berbeda dengan masyarakat Jawa Tengah. Hanya saya yakin kelak pelestarian budaya ini akan berkembang dan orang sunda akan menyukai kudjang.". Saya akan bekerja keras untuk mengembangkan kudjang pamor, harapan saya, Pak Jajang dapat membatu cita-cita saya. Itulah inti percakapan saya bertiga didalam mobil

Selasa, 13 Mei 2008

Awal Ketertarikan Saya Sama Pisau


Ketika saya bekerja pada perusahaan Cipta Nawalapatra Chandra (CNC) di Bandung, sekitar tahun 1995. Waktu itu kami bangun perusahaan ini bersama-sama yaitu Mbak Anie,  Mas Santo, Pak Asnur dan saya sendiri. Mbak Anie dan Mas Santo adalah suami istri hubungannya. Main of business dari CNC adalah pembuatan sarana produksi khusus untuk perusahaan Food & Pharmaceutical Industry. Salah satu product unggulan CNC pada waktu itu adalah Packaging Knive. Product tersebut pada waktu itu sebagian besar adalah import karena cukup presisi dan dan memakai bahan hard material seperti baja hss, carbide dan tungsten. kami mencoba dan berhasil membuat product product tersebut yang sebagian berasal import dari negara german, italy, jepang. Masa eksperiment adalah masa-masa sulit kami karena keterbatasan equipment dan operator dan akhirnya untuk R&D kami bekerja sama dengan Politeknik Negeri Bandung dahulu namanya masih Politeknik ITB - Ciwaruga. Karena kami berhasil membuat product tersebut dan Pak Susanto Widjaja (Mas Santo) juga berhasil dalam segi marketing, product kami sudah dapat diterima di Helios Food (Arnotts Indonesia), Indofood, Mayora, Danone, dan perusahaan lainnya yang sebagian besar adalah PMA.

Suatu saat kami mendapat masalah untuk product kami yang di order oleh Indofood. Pisau potong untuk packaging kami tidak berfungsi. Saya dan Bang Asnur yang dosen di Politeknik ITB memutar otak dan mencari pangkal permasalahannya karena kami berdua yang paling bertanggung jawab dari sisi teknis pembuatannya. Kami mencoba lagi dan tetap tidak berfungsi. Pak Asnur menyarankan agar proses finishing dicoba dengan proses hand made pada akhli pembuat pisau. Saat itu kami semua bingung dan ada ide bagus dari Ibu Sri Sulastri Anggraini (Mbak Anie), kebetulan dia baru  saja baca artikel tentang raja pisau dan berada di Bandung tepatnya du Jl. Hegarmanah, Yaitu Bpk Teddy Kardin dan kami menyebutnya Kang Teddy.

Sesaat saya kagum dengan karya-karya Kang Teddy Kardin dan productnya diberi lebel T. Kardin. Dari mulai pisau bowie, rambo dan pisau lainnya ada nyelip product etnis jawa barat yaitu golok cepot dan kudjang yang sangat indah sehali bentuknya dan penuh dengan ornamen seni dan menjadikan kujang tersebut indah secara estetika tetapi tetap kharismatik. Saya ceritakan maksud kedatangan kami sama kang Teddy dan beliau juga keliatannya bingung sama permasalahan yang sedang kami hadapi karena memang secara metoda sangat jauh begitupun secara fungsi sangat jauh berbeda dengan product kami. Akhirnya kami kembali ke Laboratorium Mesin Politeknik ITB dan kami pun berhasil memperbaiki product kami dan dapat berfungsi pada fasilitas produksi Indofood.

Ketika konsultasi dengan Kang Teddy, sayadan Mbak Anie diajak keliling ke workshop nya dan dengan sangat terbuka beliau menerangkan dari mulai teknik pembuatan, material dan finishing yang memerlukan jiwa seni yang cukup tinggi, sehungga menjadikan product tersebut menjadi artistik secara seni tetapi juga berfungsi terutama waktu itu parameternya adalah ketajamannya. Saya kaget waktu itu diperlihatkan ada pisau kecil dan materialnya bermotif dan beliau terangkan bahwa material tersebut namanya Damascussteel dan import dari USA. Beliau bilang sama kami material tersebut sangat mahal harganya perbandingannya jika pisau kujang yang terbuat dari alloy steel standard AISI D2 ata D3 bisa tiga kali lipatnya. Jadi bayangkan kalo kujang yang dijual Rp. 750.000 dari bahan AISI D2 untuk Damascussteel bisa mencapai harga Rp. 2.250.000. Wooow fantastis sekali, bayangkan materialnya aja saya yakin berat kujang tersebut tidak sampai 1 kg. Berkata dibenakku, material apa kok mahal banget, hanya aku gak ngerti waktu itu, yang saya simak material ini adalah material campuran antara nickel dan baja serta bahan-bahan lainnya.

Pisau seni karya kang Teddy selalu, selalu terbayang dan menganggu pikiran saya. Saya selalu berpikir ingin rasanya berkarya seperti Kang Teddy dan jujur saja ketertarikan saya sangat besar sekali untuk pisau seni. Kalau pulang kerja dari Lab. Mesin Politeknik ITB saya selalu mampir kerumah ibu Anie dan selalu mendiskusikan pisau karya kang Teddy dan bayangan ini selalu terbayang dan terbawa sebelum tidur dirumah. Kejadian ini berlangsung seminggu lamanya dan saya tidak tahan lagi akhirnya saya minta dibelikan kujang product kang Teddy yang terbuat dari material Alloy Steel D2. Mbak Anie dan Mas Santo waktu itu menyetujuinya, wah saya senang dan bahagia sekali waktu itu. Pertama saya dapat pisau kujang dan yang kedua saya dapat belajar banyak dari kang teddy walaupun lewat diskusi dan melihat buku serta majalah tentang pisau yaitu majalah KNIVE. Karena stock kujang saat itu habis saya harus indent dua minggu dan realisasinya ternyata mundur menjadi satu bulan.

Setiap tiga hari saya datang ke Workshop Kang Teddy dan selalu diskusi sekitar dunia perpisauan dan karena waktu itu juga saya boleh masuk ke workshop nya sayapun dapat meliat langsung dan berdiskusi dengan para perajinnya. Waktu itu saya ijin sama kang teddy untuk mengcopy majalah serta buku referensi dan sayapun diberi catalogue produk T. Kardin, majalah knive dan ada satu lagi lupa saya judul bukunya. Dari buku ini saya wawasan saya mulai terbuka karena kebetulan teknik pembuatan dan material nya saya sudah familiar sekali karena pisau yang kami buat untuk industri jauh lebih tinggi grade nya karena frequensi pemotongannya ada yang mencapai 500 kali kontak potong, jadi diperlukan material yang keras tangguh dan tidak cepat aus. Dari reference ini juga saya dapat membuka wawasan international dengan komunitas pisau diluar negeri waktu itu internet tidak seperti sekarang dan saya korespondensi melalui pos. Saya dapat artikel tentang damascussteel dan material ini adalah target saya waktu itu. Ternyata yang dimaksud dengan Damascussteel tersebut kalau orang Indonesia menamainya adalah baja pamor, dan orang Jawa sudah sangat tau dengan material ini karena biasa dipakai sebagai bahan untuk Keris.